Subscribe

RSS Feed (xml)

Your Comment


Visitors

Free Blog Counter

Powered By

Thanks to:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Supported By

Image Hosted by ImageShack.us

Community Of

Image Hosted by ImageShack.us

Thursday, October 25, 2007

Pascabadai Katrina di New Orleans, Amerika Serikat

Seperti di Aceh, Korban tak Mau Tinggal di Penampungan

Laporan Anita Anggriany [Washington DC, USA]

MUSIBAH memang selalu meninggalkan kepedihan dan penderitaan bagi sebagian besar orang kecil yang termarjinalkan. Tidak hanya di Indonesia, tepatnya di Aceh dan Nias yang terkena badai tsunami. Di negara sebesar Amerika Serikat, tepatnya di Negara Bagian New Orleans, penderitaan serupa pun dialami warga negara mereka yang terkena musibah badai Katrina dua pekan lalu.

IRONISNYA, penderitaan ini berkembang seiring dengan isu ras Afrikan-Amerikan yang memang kebanyakan berdiam di negara bagian di sebelah Utara Amerika itu. Namun isu tersebut terus dibantah Presiden Amerika Serikat, George W Bush. Bantahan itu disampaikan Bush sendiri, maupun melalui juru bicaranya yang selalu diliput media massa Amerika secara terus-menerus sejak Katrina menyerang.

Beban penderitaan yang kini paling berat dialami korban Katrina yaitu kehilangan perumahan dan tempat tinggal yang layak. Padahal menurut Nan P Roman, Presiden National Alliance to End Homelessness (NAEH),-- sebuah LSM yang menangani masalah ketiadaan perumahan bagi warganya-- sebelum badai Katrina menyerang, sudah sangat banyak masyarakat New Orleans yang tidak memiliki rumah.

"Ada sekira 700-an orang yang tidak memiliki rumah sebelum badai Katrina terjadi," ujar Roman, kepada wartawan di kantornya, Washington DC.

Jumlah rakyat miskin ini ternyata tidak hanya di New Orleans. Bahkan, mereka pun ada di tiga negara besar di Amerika Serikat, New York, Washington dan San Francisco.

Sebanyak 80 persen di antara mereka yang miskin karena tidak memiliki pekerjaan. Sisanya 20 persen adalah mereka yang cacat, kecanduan alkohol yang membutuhkan pelayanan sosial lainnya.

Berdasarkan data NAEH itu, jumlah penduduk yang tidak memiliki perumahan di Amerika sekitar 11 persen dari seluruh masyarakat. Memang tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan rumah yang layak di Amerika.

Pemerintah mengatur bahwa mereka harus menyisihkan 30 persen pendapatan mereka untuk membeli rumah. Di sisi lain, biaya hidup di Amerika pun sangat tinggi.

Hingga pertemuan dengan Roman, NAEH belum memiliki data valid berapa besar masyarakat yang kehilangan rumah akibat Katrina. Tetapi, dia meyakinkan bahwa sekitar 80-90 persen, mereka yang berdiam di New Orleans kehilangan rumah.

Seperti halnya yang terjadi di Aceh, banyak pula dari korban yang memilih tetap bertahan di tempatnya. Mereka menolak untuk tinggal di penampungan-penampungan yang disediakan pemerintah.

"Mereka lebih memilih untuk tinggal di dekat rumah mereka. Kami akan menanyakan kepada mereka nanti, apakah yang sebenarnya menjadi keinginan mereka untuk kami lakukan," ujar Roman.

Roman mengatakan, memang masih banyak yang harus dilakukan baik pihaknya maupun pemerintah. Salah satu yang paling dibutuhkan saat ini adalah bagaimana pemerintah bisa menyediakan data yang valid tentang berapa sebenarnya jumlah warga yang kehilangan perumahan.

Roman menyatakan bahwa pemerintahnya cukup 'care' (peduli) dengan warga mereka yang homeless (tidak punya rumah) ini. Pemerintah negara federal ini menyediakan anggaran belanja sebesar USD2 miliar per tahun untuk homeless.

Tidak hanya itu, sebagian pula disediakan anggaran untuk memberi makan penduduk miskin lewat pelayanan sosial. "Jadi, ada kupon makan yang disediakan untuk masyarakat miskin kota," ujar Roman.

Lagipula, kata dia, persoalan ini sebenarnya bukan masalah yang berat bagi pemerintah Amerika Serikat. Meskipun ada sekitar 200-300 orang yang kehilangan rumah akibat badai Katrina. Menurut Roman, mereka sudah bisa mengatasi hal ini karena pengalaman mereka menjalankan beberapa program untuk tuna wisma.

Selain itu, juga memang begitu banyak LSM di Amerika Serikat yang mau bergerak untuk melakukan pekerjaan sosial mengatasi berbagai persoalan tersebut. Selain NAEH, Greater DC Cares, salah satu LSM yang bergerak di bidang kepedulian terhadap masalah sosial ini pun mau bergerak untuk mengatasi persoalan yang dihadapi warga Amerika.

Mereka bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar yang mau menyumbangkan dana untuk kemanusiaan dan dikelola oleh LSM ini. Menurut Siobhan Canty, Presiden dan CEO Greater DC Cares, ada sekitar 3500 korban Katrina yang ditampung LSM ini untuk sementara waktu. Kepada mereka dibuatkan dapur umum dan makanan untuk kehidupan sehari-hari.

Canty dengan tegas mengatakan bahwa mereka memang bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar yang mau menanamkan 'investasi' kemanusiaan.
DC Cares akan bekerja atas nama perusahaan tersebut pada setiap kegiatan sosial. Mereka mengumpulkan relawan dan mempekerjakan relawan itu untuk penanganan sosial seperti yang terjadi pada badai Katrina dan kerja sosial lainnya.

Dia mengaku, untuk pekerjaan ini perusahaan memang harus membayar mereka. "Mereka harus membayar kita lebih untuk kegiatan investasi yang mereka lakukan," Canty pada suatu kesempatan. Dan mereka siap untuk diaudit terhadap hasil kerja mereka. ***

Sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=10532

No comments: